Kamis, 27 Maret 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN DESA SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

sejarah desa di Indonesia
SEJARAH PERKEMBANGAN DESA SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

  “Desa” di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warmer Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad Van Indie Pada masa penjajahan Kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Kata desa sendiri berasal dari bahasa Jawa yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas.
  Untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai desa perlu kita lihat dari aspek historis berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa. Pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial.
1. Zaman Belanda
 Pada zaman penjajahan Belanda terdapat peraturan perundang-undangan mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie (IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura pada tahun 1906. Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 71 REGERINGS REGLEMENT (RR) yang dikeluarkan tahun 1854 yang merupakan bentuk pengakuan terhadap adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa. Pada tahun 1854, Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan “Regeeringsreglement” yang merupakan cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan Desa. Dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) yang menegaskan tentang kedudukan Desa, yakni: Pertama, bahwa Desa yang dalam peraturan itu disebut “inlandsche gemeenten” atas pengesahan kepala daerah (residen), berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah Desanya sendiri. Kedua, bahwa kepala Desa itu diserahkan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur Jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggarannya.
 Dalam ordonansi itu juga ditentukan keadaan dimana Kepala Desa dan anggota pemerintah Desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu. Kepala Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau Pemerintah otonom yang ditunjuk dengan ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari Desa Bumiputera untuk: (a) memungut pajak di bawah pengawasan tertentu; (b) di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh Desa.
 Ada 3 hak Desa yang bisa diperhatikan dalam Pasal 71 tersebut, antara lain :
1. Desa berhak memilih sendiri Kepala Desa
2. Desa berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
3. Desa yang terletak di kota (kota praja) di hapus

2. Zaman Jepang
 Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah
4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190).Selanjutnya menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada jaman penjajahan Jepang Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).
 Artinya, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pengaturan Desa tidak terlalu banyak. Sehingga, Desa berjalan dan sesuai dengan IGO 1906 yang ditetapkan pada masa pemerintahan Belanda. Satu-satunya perauran mengenai desa yang dikeluarkan oleh penguasa Jepang adalam Osamu Seirei No. 7 tahun 1944 diatas. Peraturan ini hanya mengatur tentang pemilihan Kepala Desa (Ku-tyoo) yang menetapkan masa jabatan Kepala Desa menjadi empat (4) tahun.
3. Pasca Indonesia merdeka Sampai Sekarang
 Pengaturan tentang Desa bertahan cukup lama meski adanya UU yang baru dibuat contohnya UU No. 14 Tahun 1946 yang isinya mengatur tentang syarat-syarat pemilihan Kepala Desa, yaitu yang berhak memilih Kepala Desa adalah semua warga Negara penduduk Desa , laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun atau sudah menikah di tambah dengan UU No. 1 tahu 1948 yang mengatur masa jabatan Kepala Desa yang tidak terbatas waktunya sehingga UU yang ada pada masa pemerintahan Jepang tidak berlaku lagi. Peangaturan Desa baru diganti dengan terbitnya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Terdapat kesamaan antara pengaturan Inlandshe Gemeente Ordonantie dan Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten dengan UU No. 19 Tahun 1965 dalam hal memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen) memiliki hak ada istiadat dan asal usul. Dalam pasal 1 UU NO. 19 tahun 1965 Desa atau Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Dengan demikian berdasarkan peraturan perundang-undangan ini nama, jenis, dan bentuk desa sifatnya tidak seragam.
 Pada masa pemerintahan Orde Baru UU, kembali peraturan perundang-undangan mengenai desa mengalami perubahan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965, menurut UU 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak menyeragamkan pemerintahan desa kadang-kadang merupakan hambatan untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itulah secara tegas dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah.
 Dari pengertian ini jelas bahwa secara struktural dengan ditempatkannya desa sebagai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supra desa bersifat hierarkis sampai ke tingkat Pusat. Hal ini dikarenakan posisi Camat sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi atau merupakan unsur Pemerintah Pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat hierarkis maka seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa dibuat oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan sama secara nasional.
 Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian, otonomi yang dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip "Kebhinekaan" itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat. Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal pembangunan desa.
 Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Menurut ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa. Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Perwakilan Desa sebagai unsur Legislatif, yang tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 1979. Dengan konsep pemerintahan desa yang seperti ini maka dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.
 Terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga merubah tata hubungan desa dengan supra desa sebagaimana diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979. Perubahan tata hubungan tersebut terdapat dalam beberapa hal sebagai berikut:
a) Terjadi reposisi camat dalam sistem pemerintahan di kabupaten/kota. Apabila sebelumnya camat merupakan kepala wilayah, di dalam UU No. 22 Tahun 1999 posisi camat merupakan perangkat daerah. Pengaturan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan pengaturan secara tegas kewenangan camat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan desa.

b) Dengan pertanggungjawaban kepala desa kepada BPD maka kepala desa tidak lagi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Bupati Kepala Daerah Tingkat II sebagaimana diatur dengan UU No. 5 Tahun 1979.

c) Desa dapat melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Hal ini tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979.

 Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
  Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun dengan hubungannya dengan supra desa. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).
 Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurut ketentuan dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a camat memiliki kewenangan untuk membina penyelenggaraan pemerintahan desa. Yang dimaksud dengan membina pada ketentuan ini adalah dalam bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan terwujudnya administrasi tata pemerintahan desa yang baik.


Dari penjelasan diatas, perkembangan desa dapat dilihat menurut dimensi peraturan perundang-undangan di Indonesia yang disajikan dalam tabel berikut ini.
No. Dimensi Waktu Produk Hukum Substansi
1. 1906- 1942 ( Kolonial Belanda) Inlandse Gemeente Ordonnantie (IGO) Desa di Jawa dan Madura
2. 1938-1942 ( Kolonial Belanda) Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten Desa di Luar Jawa dan Madura
3. 1942- 1945 (militer Jepang) UU No. 1 Tahun 1942 Osamu Seirei IGO dan IGOB masih berlaku
4. 1948- 1965 ( Pemerintah RI) UU NO. 22 Tahun 1948 Kemungkinan desa sebagai daerah Tingkat III
5. Pemerintah RI UU No. 1 Tahun 1957 -
6. 1965- 1979 ( pemerintah RI) UU No. 19 Tahun 1965 Desapraja
7. 1979- 1999 ( Pemerintah RI) UU No. 5 Tahun 1979 Desa (sebutan secara seragam)
8. 1999- sekarang UU No. 22 Tahun 1999
UU No. 32 Tahun 2004
PP No. 72 Tahun 2005 Desa / disebut dengan nama lain


A. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Desa di Indonesia
Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah politik san kehidupan sosial ekonominya, sejak Kerajaan-Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, Deli, Kutai, Pontianak, Goa, Bone, Ternate, Klungkung, Karangasem, Badung, Bima dan lain-lainnya kehilangan kedaulatannya dan kemerdekaannya. Kerajaan-kerajaan itu satu persatu menyerahkan kedaulatan politiknya kepada V.O.C mulai tahun 1602 sampai terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda, masih berlangsung terus menerima penyerahan-penyerahan kedaulatan kerjaan-kerajaan tersebut.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1798 sampai Maret 1942, telah mengatur sebagian besar aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Indonesia, melalui berbagai cara dengan gaya dan nafas khas kolonialis. Berbagai peratuan perundang-undangan baik yang bersifat untuk sementara waktu, maupun yang dipersiapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, yang telah dapat dipastikan akan menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda, telah dikeluarkan dan harus ditaati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia yang saat itu sebagai hamba-hamba Raja atau Ratu Belanda.Tidak sedikit pula peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur Desa-desa atau yang semacam dengan Desa; sekalipun secara formal dan politis pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta “mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan Pribumi” dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan sistem kolonialisme.
Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, maka ppemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa. Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap. Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R. Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut :
1. Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja.Pengertian tentang Inlandsche Gemeente tersebut di atas tidak lai wujudnya adalah Desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.
2. Masa Pemerintah Pendudukan Balatentara JepangTelah dikemukakan di atas bahwa pada bulan Maret 1942 seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda jatuh ke dalam kekuasaan militer Jepang di mana penyerahan kekuasaannya ditanda tangani di Lembang Jawa Barat. Dengan sendirinya Jepang berkuasa atas segala sesuatunya di wilayah bekas jajahan Belanda itu yaitu Indonesia Tercinta ini.Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran perundang-undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan trategi “Perang Asia Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula Hukum Adat tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang.
Selama Jepang menjajah 3 ½ tahunm I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco; demikian juga cara pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944).
Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah menjadi “Ku”. Perubahan ini selaras dengan perubahansebutan-sebutan bagi satuan pemerintahan lebih atasnya.
Untuk sekedar melengkapi hal di atas, maka sebagaimana dimaklumi berdasarkan Osamu Seirei No. 27 tahun 1942, maka susunan pemerintahan untuk di Indonesia adalah sebagai berikut :
• Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk pulau jawa yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan.
• Di bawah Panglima ada Kepala Pemerintahan militer disebut Gunseikan.
• Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan sebutan Gunseibu.
• Gunseibu-gunseibu ini dijabat oleh orang-orang Jepang, tetapi wakil Gunseibu diambil dari bangsa Indonesia.
• Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan. Pada masa Jepang Keresidenan (Syu) merupakan Pemerintah Daerah Tertinggi. Para Syucokan semuanya terdiri dari orang-orang Jepang.
• Daerah Syu terbagi atas Kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken).
• Ken, terbagi lagi atas beberapa Gun (Kewedanan).
• Gun terbagi lagi atas beberapa Son (Kecamatan).
• Son Terbagi atas beberapa Ku (Desa).
• Ku terbagi lagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sekalipun menurut susunan pemerintahan Keresidenan menurut Pemerintah Daerah yang tertinggi, berarti juga termasuk kategori penting bagi strategi militer, namun ternyata Jepang mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap Desa-desa.
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut Romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan Masyarakat berdasarkan Adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.Sudah barang tentu pengertian yang terurai di atas itu tidak dapat dianggap sesuai lagi ketika Tentara Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tanggan 14 Agustus 1945.
3. Sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Lahirnya Orde Baru
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bersamaan waktunya dengan diproklamasikannya kemerdekaan, berakhirlah sudah lembaran buku sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang penuh dengan penderitaan dan kenistaan sejak awal penjajahan oleh Belanda dan berakhir oleh militer Jepang.Kemerdekaan membawa perubahan di segala bidang kehidupan menuju ke arah kemajuan yang telah sekian lama didambakan.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengandung prinsip kejiwaan bertentangan dengan martabat bangsa yang merdeka, secara bertahap dihapuskan, dan diganti dengan yang selaras dan serasi sebagaimana layaknya di alam kemerdekaan, walaupun dengan berbagai kesulitan karena situasi pilitik dan keamanan pada awal Indonesia merdeka belum stabil.Barulah pada atahun-tahun setelah pemulihan kedaulatan, mulai banyak terlihat berbagai kegiatan untuk menyiapkan Undang-Undangyang mengatur pemerintahan Desa sebagai pengganti I.G.O dan I.G.O.B. pun mengalami hambatan yang tidak kecil.Akibatnya maka hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terdapat dalam I.G.O. dan I.G.O.B. diatasi oleh berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.Dengan ssendirinya pengertian tentang Desa atau yang semacam dengan Desa masih tetap seperti pada masa dahulu, dengan sedikit penambahan di sana-sini.Barulah kemudian setelah keluar Undang-Undang Desapraja (sebagai pengganti I.G.O. dan I.G.O.B) pada tahun 1965, didapatlah pengertian resmi tentanf desa berdasarkan undang-undang Republik Indonesia.
Pada pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No. 19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksud dengan Desapraja yaitu :
Desapraja adalah Kesatuan Masyarakat Hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.Jadi Desapraja pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi Desa yang sudah ada sejak berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.Undang-Undang Desapraja tidak berumur lama,sebab ketika Orde Baru lahir, undang-undang yang jiwanya dan sistem pengaturannya akan dapat membawa ke arah ketidakstabilan politik di Desa-desa, dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 1969
4. Sejak Lahirnya Orde Baru hingga SekarangSejak Undang-Undang Desapraja dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 6 tahun 1969, sampai saat lahir dan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979) maka selama 10 tahun Desa-desa di seluruh Indonesia tidak memiliki landasan hukum berupa undang-undang. Selama 10 tahun itu pengertian tentang Desa diambi dari berbagai sumber baik dari peraturan-peraturan maupun dari pendapat para ahli.
Pengertian Desa yang didasarkan kepada undang-undang yang dapat dipergunakan sebagai pegangan atau patokan bagi berbagai kepentingan baik bagi kalangan masyarakat maupun aparatur pemerintah terdapat pada pasal 1 huruf a dari Undang-undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No 5 Tahun 1979) yaitu :
Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya esatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya secara resmi pengertian tentang Desa sebagaimana tersebut di atas, maka pengertian atau batasan-batasan tentang Desa tidak perlu lagi dirumuskan oleh berbagai pihak maupun dalam berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.
Sebagai akibat logis adanya pengertian atau batasan Desa secara resmi sebagaimana tersebut di atas, maka sekaligus terjadi pula keseragaman sebutan atau nama yaitu Desa bagi bermacam bentuk atau corak Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dengan sebutan atau nama setempat seperti Marga, Nagari, Kuria, Nagorey dan lain-lainnya, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sekalipun demikian masih harus dimaklumi bilamana masyarakat awam yang berada di luar Jawa, Madura dan Bali masih menyebut Desanya dengan nama atau sebutan yang dahulu, karena setiap perubahan sekalipun hanya perubahan sebutan memerlukan waktu untuk bisa diterima sehingga membudaya.Telah dimaklumi bahwa Desa dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan baik yang menyangkut aspek yuridis formal maupun yang berkaitan dengan luas wilayah, sistem dan pola ketahanan masyarakat, prasarana dan sarana, sumber-sumber penghasilan, sistem administrasi pemerintahan, lembaga-lembaga kemasyarakatanm susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa dan lain-lainnya, namun pada hakikatnya ada anasir penting yang melekat pada setiap Desa yang tidak mungkin mudah berubah karena perubahan zaman yaitu :
• Pada zaman atau masa manapun Desa merupakan satuan organisasi ketatanegaraan (sekalipun terkecil dan paling sederhana) dalam suatu negara (Kerajaan atau Republik).
• Pemerintah Desa merupakan pemerintahan terendah dalam susunan pemerintahan negara (Kerajaan atau Republik).
• Adanya hak untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
• Dalam suatu wilayah yang batas-batasnya jelas dan tertentu.
• Ada penduduknya atau masyarakat dalam jumlah yang cukup besar sesuai persyaratan, yang hidup secara tertib dan bertempat tinggal pada lokasi-lokasi yang sudah tetap.
• Kepalanya dipilih secara langsung, bebas dan rahasia oleh penduduk Desa yang berhak.
• Memiliki kekayaan sendiri (fisik ekonomis dan non fisik ekonomis).
• Ada Landasan Hukum (tertulis dan tidak tertulis) yang ditaati oleh masyarakatnya bersama aparatur Pemerintah Desa.
• Mempunyai nama, yang tetap dan lestari serta mengandung makna tertentu bagi masyarakatnya.
Menurut Undand-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentingan msyarakat setempat berdasarkan asal usuk dan adapt istiadat setempat yang diakui dalam sistim pemerintahan nasional dan berada didalan daerah kabupaten. Sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat .